Pengertian Anak Tunagrahita Ringan
Banyak
definisi tentang anak tunagrahita yang tercantum dalam berbagai buku yang
dikemukakan oleh para ahli sesuai dengan bidang keilmuan masing – masing. Di
Indonesia pengertian anak tunagrahita tercantum dalam peraturan pemerintah
nomor 72 tahun 1991, anak tunagrahita dinyatakan sebagai anak–anak dalam kelompok
dibawah normal dan/atau lebih lamban dari pada anak normal, baik perkembangan
sosial maupun kecerdasanya.
Sedangkan salah satu definisi yang saat ini diterima secara luas dan
dijadikan rujukan utama adalah definisi dari American on Mental Deficiency (AAMD) yang dikutip Grosman (Kirk & Gallagher, 1986:116) adalah
sebagai berikut “ Mental retardation
fefers to significantly subaverage general intellectual functioning existing
concurrently with deficits in adaptive behavior and manifested during the
developmental period “.
Menurut Astati dan Lis Mulyati (Astati, Lis Mulyati, 2010)
pengdefinisian atau pengertian anak tunagrahita mengacu kepada :
- Fungsi intelek umum yang berada di bawah rata – rata, fungsi intelektual
umum secara siginifikan berada di bawah rata –rata, maksudnya bahwa kekurangan
itu harus benar – benar meyakinkan sehingga yang bersangkutan memerlukan
layanan pendidikan khusus. Sebagai contoh, anak normal rata – rata mempunyai IQ
(Intelligence Quotient) 100, sedangkan anak tunagrahita memiliki IQ paling
tinggi 70.
- Kekurangan dalam tingkah laku penyesuaian, kekurangan dalam tingkah laku
penyesuaian (perilaku adaptif), maksudnya bahwa yang bersangkutan tidak/kurang
memiliki kesanggupan untuk melakukan pekerjaan – pekerjaan yang sesuai dengan
usianya. Ia hanya mampu melakukan pekerjaan seperti yang dapat dilakukan oleh
anak yang usianya lebih muda darinya.
- Ketunagrahitaan berlangsung pada periode perkembangan, ketunagrahitaan
berlangsung pada periode perkembangan, maksudnya adalah ketunagrahitaan itu
terjadi pada usia perkembangan, yaitu sejak konsepsi hingga usia 18 tahun.
- Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan secara umum anak tunagrahita adalah anak yang
memiliki ciri fungsi intelektual umum di bawah rata – rata, kekurangan dalam
tingkah laku penyesuaian dan ketunagrahitaan berlangsung pada periode
perkembangan.
Klasifikasi Anak Tunagrahita
Pengklasifikasian
diperlukan untuk mengetahui tingkatan ketunagrahitaan yang dialami oleh anak
tunagrahita, agar anak tunagrahita mendapatkan penanganan yang sesuai dengan
kondisi yang dialami.
Terdapat
berbagai macam pengklasifikasian tentang anak tunagrahita berdasarkan bidang
keilmuan masing masing, secara umum pengklasifikasian anak tunagrahita ada dua
jenis yaitu :
Klasifikasi
Anak Tunagrahita menurut tingkat inteligensinya
Berdasarkan
ukuran tingkat inteligensinya Grosman
(1983) dengan menggunakan system skala Binet membagi ketunagrahitaan dalam
klasifikasinya :
TERM
|
IQ
RANGE FOR LEVEL
|
Mild
Mental Retardation
|
50-55
top Aporox, 70
|
Moderate
Mental Retardation
|
35-4
to 50-55
|
Severe
Mental Retardation
|
20-25
to 35-40
|
Profound
Mental Retardation Unspecfied
|
Below
20 or 25
|
Klasifikasi
Leo Kaner
Klasifikasi Leo Kanner adalah klasifikasi yang dikembangkan oleh Leo
Kanner, dimana tuna grahita diklasikfikasikan menjadi tiga jenis yaitu :
Absolute Mentally Retarded (tunagrahita absolut)
Relative Mentally Retarded (tunagrahita relative)
Pseudo Metally Retarded (tunagrahita semu)
Klasifikasi
yang digunakan pada saat ini adalah klasifkasi yang dikemukakan oleh AAMD
(Hallahan, 1982:34), sebagai berikut:
Mild
mental retardation (tunagrahita ringan) IQ-nya 70-755
Moderate
mental retardation (tunagrahita sedang ) IQ-nya 55-40
Severe
mental retardation (tunagrahita berat)
IQ-nya 40-25
Profound
mental retardation (tunagrahita sangat berat) IQ-nya 25 ke bawah.
Klasifikasi
yang digunakan di Indonesia berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1991 tunagrihata dibagi dalam tiga jenis yaitu :
Tunagrahita ringan IQ-nya 50-70.
Tunagrahita sedang IQ-nya 30-50.
Tunagrahita berat dan sangat
berat IQ-nya dibawah 30.
Permasalahan Anak Tunagrahita
Permasalahan
yang dihadapi oleh anak tunagrahita bermacam – macam baik ditinjau dari segi
kualitatif ataupun kuantitatif, walau demikian ada pula kesamaan permasalahan
yang dirasakan bersaman oleh sekelompok dari anak tunagrahita. Menurut Astati
(2010) Permasalah yang dihadapi oleh
anak tunagrahita diantaranya :
- Masalah
kesulitan dalam kehidupan sehari – hari, masalah ini berkaitan dengan kesehatan
dan pemeliharaaan diri dalam kehidupan sehari – hari. Melihat kondisi
keterbatasan anak – anak dalam kehidupan sehari – hari mereka banyak mengalami
kesulitan apalagi yang termasuk kategori berat dan sangat berat dalam melakukan
kehidupan sehari – harinya sangat memerlukan bimbingan. Karena itulah para guru
di sekolah diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti dalam melatih dan
membiasakan anak didik untuk melakukan kegiatan binda diri. Masalah – masalah
yang sering ditemukan di antaranya adalah : cara makan, menggosok gigi, memakai
baju, memasang sepatu, dan lain – lain.
- Masalah
kesulitan belajar, dapat disadari bahwa dengan keterbatasan kemampuan berpikir
mereka, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa mereka sudah tentu mengalami
kesulitan belajar, yang tentu pula kesulitan tersebut terutama dalam bidang
pengajaran akademik misalnya : matematika, IPA, bahasa, sedangkan untuk bidang
studi non-akademik mereka tidak banyak mengalami kesulitan belajar. Masalah –
masalah yang sering dirasakan dalam kaitannya dengan proses belajar mengajar
diantaranya : kesulitan menangkap pelajaran, kesulitan dalam belajar yang baik,
kemampuan berpikir abstrak yang terbatas dan daya ingat yang lemah.
- Masalah penyesuain
diri, masalah ini berkaitan dengan masalah atau kesulitan dalam hubungannya
dengan kelompok maupun individu di sekitarnya. Disadari bahwa kemampuan
penyesuaian diri dengan lingkungan sangat dipengaruhi oleh tingkat kecerdasan.
Karena tingkat kecerdasan anak tunagrahita jelas – jelas berada di bawah rata –
rata (nornmal) maka dalam kehidupan bersosialisasi mengalami hambatan. Di
smping itu mereka ada kecenderungan diisolir (dijauhi) oleh lingkungannya,
apakah itu masyarakat atau keluarganya. Dapat juga terjadi anak ini tidak
diakui secara penuh sebagai individu yang berpribadi dan hal tersebut dapat
berakibat fatal terhadap pembentukan pribadi, sehingga mengakibatkan suatu
kondisi pada individu itu tentang ketidakmampuannya di dalam menyesuaikan diri
baik terhadap tuntutan sekolah, keluarga masyarakat, dan bahkan terhadap
dirinya sendiri.
- Masalah
penyaluran ke tempat kerja, secara empirik dapat dilihat bahwa kegidupan anak
tunagrahita cenderung banyak yang masih menggantungkan diri kepada orang lain
terutama kepada keluarga (orang tua) dan masih sedikit sekali yang sudah dapat
hidup mandiri, inipun masih terbatas pada anak tunagrahita ringan. Dengan
demikian perlu disadari betapa pentingnya masalah penyaluran tenaga kerja
tunagrahita ini dan untuk itu perlu dipikirjan matang – matang dan dapat
diwujudkan dengan penanganan yang serius. Kehidupan anak tunagrahita ini cukup
memprihatinkan. Setelah selesai mengikuti program pendidikan ternyata masih
banyak yang sangat menggantungkan diri dan membebani kehidupan keluarga.
Disamping beberapa usaha tersebut di atas perlu ada imbangan dari pihak sekolah
untuk lebih banyak meningkatkan kegiatan non-akademik baik itu berupa kerajinan
tangan, keterampilan, dan sebagainya,
yang semuanya itu digarapkan dapat membekali mereka untuk terjun ke masyarakat
sebagai individu yang mandiri.
- Masalah
kepribadian dan emosi, memahami akan kondisi karakteristik mentalnya, Nampak
jelas bahwa anak tunagrahita kurang memiliki kemampuan berpikir, kesimbangan
pribadinya kurang konstan/labil, kondisi yang demikian itu dapat dilihat pada
penampilan tingkah lakunya sehari – hari, misalnya : berdiam diri berjam – jam
lamanya, gerakan yang hiperaktif, mudah marah dan mudah tersinggung, serta
mengganggu orang lain di sekitarnya.
- Masalah
pemanfaatan waktu luang, adalah wajar untuk anak tunagrahita dalam tingkat
lakunya sering menampilkan tingkah laku nakal. Dengan kata lain bahwa anak –
anak ini berpotensi untuk menganggu ketenangan lingkungannya, apakah terhadap
benda – benda ataupun manusia di sekitarnya, apalagi mereka yang hiperaktif.
Untuk mengimbangi kondisi ini sangat perlu adanya imbangan kegiatan dlam waktu
luang, sehingga mereka dapat terjuhkan dari kondisi yang berbahaya, dan pula
tidak sampai mengganggu ketenangan masyarakat maupun keluarganya sendiri.